Minggu, 17 November 2013

Seconds Before Farewell

Kita hidup di dunia hanya untuk sementara, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat menjalin sebuah hubungan yang baik dengan sesama kita manusia melalui sebuah pertemanan. Begitu pula denganku, aku sangat menghargai arti seorang teman, karena bagiku teman adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan berikan sebagai pendamping hidupku di dunia ini. Tak ada satupun alasan kita untuk tidak berteman. Untuk itu, jika seseorang ingin berteman denganmu, baik dia jelek, bodoh, atau miskin, bukalah hatimu juga untuk berteman dengannya. Ingat, pertemanan yang sukses itu bukan berasal dari keluarga kaya, pintar, atau tampan/cantik, pertemanan yang sukses itu berasal dari sikap saling menghargai, mengerti, dan percaya! Carilah teman sebanyak-banyaknya selama kita masih bisa menghirup nafas kehidupan yang Tuhan berikan kepada kita. Agar kelak ketika kita sudah tiada lagi di dunia ini, setidaknya banyak orang yang akan menangisi kepergian kita sekaligus berharap agar kita diterima di sisi-Nya. “Sebuah pertemanan diawali dengan pertemuan dan senyuman, kemudian diakhiri dengan perpisahan dan airmata”

Dalam cerita kali ini, aku akan berbagi kisah hidupku yang kurangkum untuk kemudian bisa dibaca oleh banyak orang agar kemudian orang tersebut tahu bagaimana aku mengawali kisah pertemananku dan juga bagaimana aku mengakhirinya. Dari sekian judul yang terpikir di benakku, aku memilih “Seconds Before Elementary School Farewell” sebagai judul yang menurutku sangat tepat untuk kisah hidupku yang satu ini.
SD Swasta Free Methodist 1 Medan adalah tempat di mana aku memulai pendidikanku. Saat itu aku ditempatkan di kelas IC. Di awal masuk sekolah, aku sangatlah gugup, aku malu berjumpa dengan orang-orang baru yang sangat asing bagiku. Saat itu aku belum sadar kalau aku akan bersama dengan mereka selama 6 tahun. Awalnya aku duduk sebangku dengan teman sepermainanku di rumah yang kebetulan teman sekelasku, namanya Pesta Ria Nababan, kami memanggilnya Susan. Selama dua minggu, aku hanya berteman dengan Susan, tidak memperdulikan teman-temanku yang lain. Hingga akhirnya aku mengenal Herman Lumbantoruan yang kemudian menjadi teman dekatku. Sejak saat itu, aku mulai membuka hatiku untuk berteman dengan yang lain, ada beberapa teman sekelasku yang akhirnya kukenal di luar sekolah, contohnya Kristi Emelia Pasaribu, aku mulai berteman dekat dengannya di sekolah setelah aku mengenalnya di gereja, saat itu kami ada kegiatan menggambar bersama bagi anak sekolah minggu, saat itulah dia kemudian menyapaku dan senyum padaku, kemudian aku balas menyapanya sambil tersenyum pula.

Saat caturwulan tiga di mulai, di saat itulah aku mengenal Billy Andreas Parangin-angin, dia merupakan siswa pindahan dari sekolah lain. Sebelum Billy masuk, kami juga mendapatkan teman baru yang juga merupakan siswa pindahan dari sekolah lain, namanya Melania Regina Pasaribu. Aku masih ingat, di awal mereka bergabung dengan kami, Ibu Simanjuntak yang merupakan guru kelas IC dan IIC, selalu menempatkan siswa baru sebangku denganku, mungkin karena aku merupakan siswa yang paling mudah bergaul pada saat itu.

Di tahun keempat aku bersama teman-temanku, aku mulai bisa mengerti sifat dan sikap mereka. Aku membatasi pertemananku bagi sebagian orang yang menurutku kami tidak cocok sama sekali, selalu berbeda pendapat, dan tidak satu pikiran. Di tahun keempat juga aku mulai mengenal kata sahabat. Aku bersahabat dengan Billy, Melani, Kristi, Artia, Vriscilya, Christian, dan Susan. Aku merasa cocok dan nyaman berteman dengan mereka. Aku masih ingat beberapa kenangan yang menurutku spesial dari mereka satu per satu.

Billy, dari awal kamu bergabung dengan kami, khususnya sebangku denganku, aku bisa merasakan sisi baikmu. Aku masih ingat, di pagi hari saat kamu datang ke sekolah dalam keadaan sakit flu, sebelum ibumu pulang sehabis mengantarmu, dia memberikanmu obat sirup, kemudian memberikannya juga padaku. Kita pun semakin dekat sejak saat itu. Hari-hari kita lalui bersama, aku sering bermain ke rumahmu untuk bermain mobil Tamiya, karena pada saat itu kamu memiliki jalur khusus mobil Tamiya di rumah. Kemudian sejak sekolah kita membuat lapangan basket, kita jadi sering bermain basket di sekolah dengan bola basket yang kamu miliki, meskipun hanya berdua. Aku masih ingat kita sering bermain sepeda bersama di siang hari, pernah tukaran binder, mengikuti kegiatan berenang dari sekolah di Kolam Renang Kartika dengan Pak Habeahan, kita bukannya berenang, malah saling gendong-menggendong di kolam, mencolek paha beberapa teman cewek kita sambil tertawa. Aku masih ingat itu semua. Aku juga masih ingat sebelum akhirnya kamu pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahmu di sana,  kita semakin dekat dan sering bertemu, sebuah pertanda akan ada perpisahan. Aku sangat merindukanmu sobat.

Melani, banyak hal positif yang kudapat sejak aku mengenalmu. Tulisanku saat ini dikatakan orang rapi, itu semua karena aku pernah menjadikanmu sebagai motivasi dalam hidupku. Aku meniru tulisanmu ketika kita masih duduk sebangku di caturwulan dua. Aku masih ingat kita sering pulang jalan bareng sejak kamu tidak lagi naik becak langgananmu. Terkadang kita sengaja lewat Jl. Kemuning untuk bisa memperlama percakapan kita. Hal itu kita lakukan selama setahun lebih. Aku juga masih ingat kalau aku pernah cinta samamu. Aku masih ingat kalau kamu pernah memberikanku uang seribu rupiah yang kemudian kusimpan di sebuah kotak perhiasan sebagai kenang-kenangan dari cewek yang merupakan cinta pertamaku, tapi aku tidak tahu lagi di mana uang tersebut karena kotak perhiasan itu hilang. Aku juga masih ingat ketika aku datang ke rumahmu, kau mengajakku ke belakang rumahmu untuk melihat beberapa domba peliharaan keluargamu. Aku kangen bisa membicarakan segalanya denganmu seperti dulu.

Kristi, bagiku kamu memang orang yang baik dan ramah. Aku masih ingat ketika aku datang membawa teman-temanku tahun-baruan ke rumahmu, kamu menyambut kami dengan senyummu, mempersilahkan kami masuk, menyediakan banyak makanan dan minuman. Aku juga masih ingat ketika perpustakaan daerah di depan rumahmu baru dibuka, kamu mengajak kami teman sekelasmu, untuk datang berkunjung ke sana. Sebelum kita ke perpustakaan, kita masak indomie di rumahmu, naik ke atas rumahmu sambil bercerita dengan teman-teman yang lain. Aku juga masih ingat, di tahun terakhir kita bersama, saat itu kita pergi bersepeda di siang hari yang terik bersama Billy, Susan, dan Melani. Saat itu sepedaku rusak, jadi aku menumpang dengan salah satu dari kalian. Awalnya aku bersama Susan saat itu, kemudian kita semua pergi ke Jl. Lembaga Permasyarakatan-Sukadono, mengunjungi rumah David dan Vriscilya, teman sekelas kita yang merupakan tetangga dekat. Kemudian kita pergi menuju bihara Katolik Tanjung Gusta bersama mereka, kita habiskan waktu selama berjam-jam di sana. Kemudian ketika ingin pulang, akhirnya aku menumpang di sepedamu. Saat itu tiba-tiba ban sepedamu kempes di daerah simpang Tanjung Gusta, kita ketinggalan jauh dari  teman-teman kita. Untuk mempercepat waktu, kita terpaksa ganti-gantian mengendarai sepeda tersebut, satu orang di sepeda, yang satu lagi berjalan cepat. Aku minta maaf karena merepotkanmu saat itu. Mungkin kalau saat ini hal itu terulang lagi, aku tidak akan pernah membiarkanmu berjalan, aku akan membiarkanmu di sepeda tersebut agar kamu tidak lelah. Aku sangat merindukanmu.

Artia, aku masih ingat ketika pembagian raport, kita pasti sudah bisa menduga kalau ranking kita akan berdampingan. Jika kamu ranking 5, aku ranking 6, jika aku ranking 7, kamu ranking 8. Aku juga masih ingat tulisanmu yang lucu dan unik. Aku sangat merindukan kebersamaan kita.

Christian, banyak hal yang kita lakukan di kelas IV. Kamu sering datang ke rumahku pada saat itu untuk sekedar bermain. Kita pernah tidur siang bersama di rumahku, makan indomie bersama, juga bermain layang-layang. Sederhana memang, tapi aku masih mengingat semua hal itu.

Vriscilya, suaramu yang indah mampu membuat semua pendengar terpukau. Aku masih ingat ketika Natal sekolah kamu menyanyikan sebuah lagu rohani sambil menangis, pertanda bahwa kamu sangat mendalami lagu tersebut. Aku masih ingat dulu ibumu setiap harinya antar-jemput kamu dan adikmu. Aku juga masih ingat kalau saat itu ibumu sering mengajakku bercanda. Aku masih ingat ketika kita latihan dance di rumah David dan semua kenangan yang ada di dalamnya. Aku merindukanmu.

Susan, ada apa denganmu sobat? Kenapa kamu sombong sekali sekarang? Aku sangat merindukan kebersamaan kita, aku sangat merindukan curhatanmu tentang cowok yang kamu cintai, aku juga masih ingat dulu kita sering bermain sepeda ke mana saja kita ingin pergi. Aku masih ingat dulu ibumu selalu melarangmu bermain denganku tapi kamu malah mengatakan, “Udah ta, gak usah kau dengarkan orang kek gitu.” Aku masih ingat itu semua Susan! Tapi kenapa sekarang kamu berbeda? Tidakkah kamu merindukan kebersamaan kita?

Di kelas VI, aku juga bergaul dengan siswa kelas lain. Aku mengenal Daniel, Budi, Tito, Nanda, dan Rico yang kemudian menjadi teman dekatku juga saat itu. Aku masih ingat kalau kami sering berkunjung ke rumah Daniel untuk bermain PlayStation, makan, atau bermain smackdown di kamar Daniel. Aku juga masih ingat ketika kami bermain TopScore, siapa yang kalah satu poin, dia harus membuka salah satu pakaiannya. Jadi jika kalah beberapa poin, orang yang kalah tersebut harus membuka beberapa pakaian yang digunakannya. Saat itu aku kalah banyak poin, memaksaku untuk membuka hampir seluruh pakaianku, hingga akhirnya permainan usai setelah yang tertinggal dariku hanyalah celana dalam saja. Meskipun aku selalu kalah, aku tetap merindukan permainan ini. Aku masih ingat ketika ketika main hide and seek  di sekolah kalau guru les tidak masuk. Budi yang mendapatkan hadiah berupa uang dari Sir Marpaung karena memiliki score yang bagus saat kuis, dan kemudian membagikan uang tersebut kepada kami, teman dekatnya. Aku juga masih ingat ketika Daniel dan Budi tidak saling bercakapan. Aku bingung berpihak pada siapa, hingga akhirnya aku dominan memilih Budi saat itu. Aku juga masih ingat, sebelum kita melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), kita membuat acara perpisahan kecil-kecilan, masak bakwan di kantin Nanda. Bakwan yang kita masak terlalu manis, membuat kami cepat bosan dan kenyang. Aku juga masih ingat ketika aku dan Tito menghadiri acara sunatan Nanda. Kami hanya bisa tertawa melihat keadaan Nanda yang menahan sakit karena biusnya sudah hilang. Nanda juga bercerita, saat itu perawat yang ikut serta dalam penyunatannya sangatlah cantik, itu membuat dia terangsang hingga dokter tertawa melihatnya. Akhirnya karena sudah hampir larut malam, sekitar jam 21.00 WIB, aku dan Tito hendak pulang ke rumah masing-masing. Kami tak mengira sebelum pulang ke rumah, ayahnya Nanda memberikan kami nasi kotak.

Ada begitu banyak cerita di antara kita yang pernah terjalin. Kini semua tinggal kenangan. Biarlah tulisan ini mengingatkan kalian bahwa hingga saat ini aku masih sering merindukan kebersamaan yang pernah kita lalui. “Teman yang baik akan meninggalkan kenangan yang baik pula” 

Dedicated for :
1. Ibu Simanjuntak
2. Pak Habeahan
3. Herman Lumbantoruan
4. Billy Andreas Parangin-angin
5. Melania Regina Pasaribu
6. Kristi Emelia Pasaribu
7. Artia Uli Sinaga
8. Vriscilya Panjaitan
9. Christian Sibuea
10. Pesta Ria Nababan
11. Daniel Simangunsong
12. Budi Talambanua
13. Tito
14. Dian Ananda
15. Rico Hutauruk

Senin, 11 November 2013

Purnama Merindu

Jam sudah menunjukkan pukul 00:39 tapi mataku tak kunjung mau diajak tidur. Kucoba menyalakan laptopku untuk menghidupkan suasana dan memutar beberapa lagu melankolis yang kupikir nantinya membawaku menuju tidur lelapku. Ketika asyik mendengar alunan lagu yang dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari – Cinta Pertama, tiba-tiba tanpa disengaja aku teringat akan masa-masa PKL (Praktek Kerja Lapangan) tiga bulan di BBLKI (Balai Besar Latihan Kerja Industri) Medan. Sekilas aku merasa kesepian, sedih, rindu, dan ingin rasanya mengulang masa-masa itu kembali.

Aku teringat akan kenangan di mana aku, Margaretha, Jerry, dan Yosefhin, merasakan kebahagiaan dan kesedihan bersama-sama. Aku masih ingat jelas dulunya Yosefhin sering mentraktir kami beli jajanan, bawain kami sarapan atau makan siang. Aku juga masih ingat jelas tingkah aneh Yosefhin yang terlalu sopan atau gimana, asal jumpa orang yang lebih tua, disapa terus disalam. Aku juga masih ingat kepolosan kami. Polos? Ya, saat itu kami memang masih sangat polos. Kenapa begitu? Pertanyaan yang bagus. Ceritanya begini, BBLKI Medan itu letaknya di sebuah gang yang panjang dan berada di paling ujung gang tersebut. Nah, di sinilah letak kepolosan kami itu. Di sepanjang gang itu,kami melihat banyak sekali plastik warna pink, berbentuk kotak, dan kalau diraba, terasa kenyal. Tahukah Anda apa itu? Itu kondom! Ya, ternyata gang tersebut merupakan tempat para waria menjajakan dirinya di malam hari. Dan kami sama sekali tidak tahu apa itu selama sebulan lebih, hanya melewatinya saja setiap harinya. Hingga akhirnya, aku coba mengambil beberapa di antaranya, kubawa ke kantor, dan pada waktu jam istirahat, seperti biasa kami berkumpul dikantor ‘KIOS 3IN1’, tempat di mana aku, Jerry, dan Yosefhin ditempatkan (hanya Margaretha yang berada di kantor lain). Setelah siap makan siang, aku coba buka plastik pink berbentuk kotak tersebut, dan saat itulah kami sama-sama tahu bahwa isinya ternyata kondom! Kami tertawa terbahak-bahak saat itu juga. Aku sangat merindukan masa-masa itu.

Aku masih ingat dengan Margaretha yang dari dulu hingga sekarang masih berpuisi sana-sini, menciptakan karya cerpen pribadi penuh arti, menyanyikan lagu keras-keras membuat orang yang berada disampingnya merasa risih dan jengkel. Aku masih ingat itu semua! Aku masih ingat keras kepalanya yang membuatnya menjadi kesepian! Percaya atau tidak, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan saat itu, Margaretha. Meskipun begitu, dari awalaku mengenalmu, aku sudah yakin bahwa kau akan menjadi sahabat sejatiku. Dan ternyata memang benar, sampai saat ini kita masih sering ketemuan, bercanda,membicarakan hal bodoh yang terkadang adalah rahasia hidup kita sendiri, membicarakan rahasia yang benar-benar rahasia, dan masih banyak hal yang kita lakukan hingga saat ini. Aku berterima kasih banyak kepada Tuhan atas kehadiranmu sebagai sahabatku, aku tidak akan pernah menyia-nyiakanmu, aku berjanji akan menjagamu dan membahagiakanmu semampuku selama kau bersamaku. Maafkan aku yang terkadang temperamental, aku menyadari itu. Kerap sekali ketika aku baru saja memarahimu, aku ingin meminta maaf, tapi aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk mengatakannya. Aku harap kau maklum ya, Margaretha.

Aku juga masih ingat, saat kami masih PKL, Jerry mengambil pekerjaan sampingan sebagai waitress (casual). Setiap pulang PKL, dia pasti langsung bergegas pergi ke tempat kerja karena takut terlambat. Ada satu hal yang paling berkesan dan takkan pernah kulupakan, saat di mana aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menyayangi Jerry selamanya sebagai sahabatku, bagaimanapun masalah yang akan terjadi di antara kami. Hal apa itu? Suatu hari, sebelum tanggal 3 Oktober 2010, aku mengajak Jerry ke Carrefour untuk membeli kado buat sahabat SD-ku. Dia dengan senang hati menemaniku padahal aku dulunya cuek dan kerap sekali membuatnya marah dan jengkel, apalagi kecewa. Sudah begitupun baiknya dia saat itu, mataku belum juga terbuka untuk melihat betapa tulusnya persahabatan yang ditawarkan oleh Jerry padaku saat itu. Cerita belum selesai sampai di situ saja, ketika kami selesai membeli kado, aku terdiam sejenak ketika Jerry mengatakan, “Makan yok, Ta? Aku yang traktir, aku baru gajian nih.” Wah, alangkah bodohnya aku, kenapa mataku baru terbuka saat itu? Kenapa tidak dari kemarin? Aku coba bilang padanya, “Gak usah Jer, kita pulang aja. Kau simpan aja uangmu.” Kamipun akhirnya pulang dan selama perjalanan pulang ke rumah, aku berjanji pada diriku bahwa aku tidak akan pernah lagi mengecewakan Jerry bagaimanapun kesalahan yang nantinya dia perbuat. Tapi tahukah apa cerita selanjutnya? Aku dilanda karma. Di saat aku benar-benar ingin bersahabat dengan Jerry, aku ditinggalkannya, dia punya teman baru yang jauh lebih baik dari aku. Aku hanya bisa pasrah, menangisi kebodohan yang telah kuperbuat. Sejak saat itu, aku belajar untuk menghargai setiap orang yang mencoba bersahabat denganku, aku tidak lagi tertutup seperti sebelumnya.

                Apa kabar Yosefhin? Kenapa tidak ada kabar sama sekali? Tidakkah kau merindukanku? Aku rindu Yosefhin, aku sangat rindu padanya! Di mana dirimu sekarang, Yosefhin? Aku ingin jumpa denganmu, aku ingin memelukmu, aku ingin meluapkan semua emosi kerinduan yang ada dalam diriku padamu. Aku menyesal karena telah menjauhimu hanya karena masalah sepele yang kau perbuat terhadapku. Maafkan aku, Yosefhin. Yosefhin, dimanapun kau berada saat ini, apabila kau membaca tulisan ini, aku berharap kau langsung menghubungiku. Aku sangat merindukanmu, setidaknya kalaupun aku tidak bisa berjumpa denganmu, aku ingin mendengarkan suaramu ito-ku! Aku rindu perhatian yang kau berikan padaku, aku rindu makan siangmu, aku rindu lelucon gilamu, aku rindu semuanya! Aku dan Margaretha sering membuatmu sebagai bahan obrolan kami beberapa tahun belakangan ini. Kami membicarakanmu, kami ingin tahu kau di mana sekarang. Kami sangat merindukanmu Yosefhin.

Dedicated for :
1. Margaretha Ayu Bawaulu
2. Jerry Fan Yudika Siallagan.
3. Yosefhin Rika Ernima Lumbanbatu

Created by : Lamtota Banjarnahor

Crying Without My Wings

Aku dan Rio sudah lama bersahabat, sejak dia pindah bersama kedua orangtuanya ke ruko sebelah rumahku ketika kami masih berumurlima tahun. Hingga kini keluarga Rio masih tinggal di sana. Ada banyak persamaan yang membuat aku dan Rio bisa seakrab itu. Aku mengerti Rio, begitu juga sebaliknya, Rio mengerti aku. Setiap harinya kami selalu bersama,terkadang aku menginap di rumah Rio, Rio pun demikian. Rio berasal dari keluarga mapan dan merupakan anak tunggal di keluarganya. Sedangkan aku, aku hanyalah seorang anak dari keluarga sederhana, yang memiliki empat saudara. Betapa beruntungnya aku memiliki sahabat seperti dia. Dari TK hingga SMA kami berada dalam satu sekolah yang sama, bahkan sekelas. Seperti kata pepatah, ‘kalau memang jodoh, pasti takkan kemana.’ Sudah terlalu banyak  topik yang sering kami jadikan sebagai bahan pembicaraan, mulai dari masalah pendidikan, politik, uang jajan, bahkan cita-cita kami yang selalu berubah setiap tahunnya. Kami sering terjebak dalam percakapan konyol yang kami sendiri tak mampu untuk menuntaskannya. Akan tetapi ada juga satu hal yang tak pernah kami bicarakan, yakni cinta! Kami tak pernah bercerita mengenai masalah percintaan. Aku bahkan tak pernah tahu siapa cinta pertama Rio hingga saat ini. Ada kalanya aku ingin membahas tentang hal tersebut, akan tetapi hasratku lebih memilih untuk tidak melakukannya.
Rio merupakan orang yang baik. Dia menerimaku apa adanya, dia tak malu berteman denganku yang bergaya culun, yang berbanding terbalik dengan gayanya yang keren dan disukai banyak cewek. Dia selalu membuat aku senang. Dia tak pernah perduli dengan hal buruk apa yang dikatakan orang tentang diriku. Dia bahkan selalu membangga-banggakan aku di depan teman-teman kami. Itulah yang membuatku sangat menjaga persahabatan ini. Aku tak pernah perduli dengan mereka yang tidak menyukaiku, aku hanya sangat terharu dengan apa yang dilakukan Rio terhadapku. Dia sungguh sudah menganggapku sebagai bagian dari dirinya. Pernah aku berkelahi dengan salah satu teman SMP kami yang tidak menyukaiku, namanya Gilang. Dia tidak menyukaiku karena ketika dia mengajak Rio untuk bergabung dengan kelompoknya, Rio tidak mau dan lebih memilih untuk tetap bersamaku, karena Rio tahu Gilang hanya ingin memisahkan persahabatan kami. Perkelahian itu sangatlah tidak adil, saat itu aku hanyalah seorang diri, sedangkan dia? Dia membawa teman-temannya. Aku dikeroyok habis-habisan oleh mereka. Perkelahian itu semakin panas ketika Rio datang menolongku. Saat perkelahian terjadi,terlihat jelas bagaimana usaha keras Rio untuk membelaku. Perkelahian tidak berlangsung lama karena tiba-tiba kepala sekolah datang melerai kami. Kami semua yang terlibat dalam perkelahian segera dibawa ke ruangan kepala sekolah, diinterogasi, diadili, dan diberikan hukuman.

“Makasi,Yo. Kalau gak ada loe mungkin gua udah di rumah sakit sekarang ini,” ucapku memulai percakapan dengannya dalam perjalanan pulang kami dari sekolah.

“Gak masalah, itulah gunanya sahabat. Selama gua masih hidup, gua gak akan pernah membiarkan loe diganggu oleh siapapun,” balasnya.

Aku senang sekali mendengar ucapannya tersebut. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikanku seorang sahabat yang sangat baik, yang selalu menemani dan menjagaku di dunia yang bersifat sementara ini. Aku sungguh sangat menyayangi Rio.

“Yo, kenapa loe baik banget sama gua?” tanyaku padanya.

“Tak ada alasan lain, selain karena gua udah nganggap loe sebagai saudara gua,”jawabnya.

“Thanks banget ya Yo, gua sayang sama loe!” balasku sambil merangkul bahunya.

***

“Yo, ntar tamat SMA, loe mau lanjut ke universitas mana?” tanyaku padanya ketika kami sedang asyik nongkrong berdua di salah satu foodcourt di Merdeka Walk.

“Gua mau nyoba sastra Inggris di Universitas Indonesia,” jawabnya.

“Wuih, sejak kapan loe suka sastra? Gila aja, serius dong loe! Bukannya loe mau lanjut ke teknik elektro Polmed?” tanyaku sambil tertawa kecil.

“Iya, gua serius. Ngapain juga gua bohong. Gua uda lama pengen jadi anak sastra di sana. Setelah dipikir-pikir, gua lebih baik nyoba sastra daripada teknik elektro. Lebih sesuai dengan keahlian gua. Kalau loe sendiri gimana? Loe mau lanjut ke mana?” tanya Rio padaku.

“Oh, kalau gua sih pengen nyoba Teknologi Informasi di ITB. Peluangnya dikit banget bisa masuk sana, tapi kalau misalnya ntar gak masuk, gua mau nyoba Akademi Pariwisata Medan aja, Yo. Gua pengen juga jadi guide soalnya,” balasku.

“Oh, bagus dong. Ntar kalau lo uda jadi guide, bawa gua traveling ya!” candanya.

“Oke, Yo. Gua pasti bawa loe traveling ntar!” ungkapku.

***

Pada saat pengumuman kelulusan siswa, aku dan Rio lulus dengan peringkat yang bagus. Beberapa hari kemudian, kami pergi mendaftar untuk SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Setelah mengisi formulir dan membayar uang pendaftaran, kami pulang kerumah. Malam itu Rio menginap di rumahku. Seperti biasa, aku sangat senang jika dia menginap di rumahku. Sebelum tidur, Rio mengajakku mengobrol tentang suatu hal yang membuatku terdiam tanpa kata.

“Eh,kalau ntar gua diterima di Universitas Indonesia, terus loe juga diterima di ITB atau Akpar Medan, kita jadi jarang jumpa dong. Gua di mana, loe di mana. Wah, gua bakalan kesepian pasti di sana. Biasanya tiap hari sama loe, nantinya gak lagi. Dari kecil kita udah sama tiap hari, gua gak yakin kalau ntar gua bisa hidup senang di Jakarta tanpa loe! Pasti gua bakal sangat kesepian.”

Hatiku sedih mendengar perkataannya. Aku terdiam, airmataku tak bisa lagi kubendung. Aku mengambil posisi tidur membelakanginya. Akutak mau dia melihatku menangis. Aku terflashback dengan semua kenangan indah yang kami lalui bersama. Aku sangat menyayangi Rio, dia bahkan lebih kusayangi daripada saudaraku sendiri, perjuangannya dan kesetiaannya, itulah yang membuatku sangat sedih dengan perpisahan ini. Airmataku terus mengalir hingga akhirnya aku tertidur.

***

Pengumuman SNMPTN sudah keluar. Aku tidak lulus dalamujian tersebut, akan tetapi Rio terdaftar sebagai salah satu mahasiswa sastra Inggris di Universitas Indonesia.

“Tenang ya, masih ada ujian Akpar Medan. Mungkin bukan takdir loe di ITB. Mungkin Tuhan udah nempatin takdir loe di Akpar Medan. Gua yakin kalau ntar loe pasti masuk di sana. Tetap optimis!” ungkapnya sambil menyemangatiku dan merangkul bahuku. Aku hanya bisa tersenyum. Yang kusedihkan saat itu bukanlah ketidaklulusanku di ITB, melainkan jarak Medan-Jakarta yang sangat jauh, berada di dua pulau yang berbeda, yang dipisahkan oleh Selat Sunda. Kami pasti akan sangat jarang untuk berjumpa.

“Ayok gua anter lo daftar ke Akpar Medan,” ajaknya.

“Oke, thanks, Yo,” jawabku.

Saat itu kami langsung menuju Akpar Medan untuk mengambil formulir dan membayar uang pendaftaran. Dari mulai pendaftaran hingga pengumuman kelulusan, Rio sangat setia menemaniku. Akhirnya,aku terdaftar sebagai salah satu mahasiswa jurusan Pariwisata program studi Manajemen Usaha Perjalanan (MUP) di Akademi Pariwisata Medan. Rio sangat senang saat itu, dia bahkan lebih senang dariku. Dia langsung mengajakku pergi city sightseeing kota Medan, dia berjanji akan mentraktirku supaya aku tidak menolak ajakannya. Padahal tanpa ditraktirpun, aku akan meng-iya-kan ajakannya. Satu harian kami mengelilingi kota Medan dengan sepeda motor Rio, sepeda motor yangmenemani hari-hari kami selama tiga tahun dari mulai masuk SMA. Sebelum mengakhiri perjalanan, kami singgah di Gereja Imanuel, tempat di mana ketika kami masih duduk di kelas 2 SMP, kami pernah berjanji satu sama lain di hadapanTuhan bahwa kami akan mempertahankan persahabatan ini hingga maut memisahkan, serumit apapun masalah yang akan terjadi di antara kami. Di sana kami berdoa agar Tuhan menjaga kami hingga kami berjumpa lagi nantinya setelah tamat dari perguruan tinggi, memberikan kami masa depan yang indah, dan memberkati kami dimanapun dan kapanpun. Dan di tempat itulah untuk pertama kalinya aku melihat Rio menangis tersedu sambil berdoa. Aku tidak tahu doa apa yang dipanjatkannya kepada Yang Kuasa, yang jelas aku bisa melihat kesedihannya sangat mendalam saat itu. Setelah siap berdoa, kami langsung pulang menuju rumah. Malam itu aku mengajak Rio menginap di rumahku, tapi dia menolak. Untuk pertama kalinya dia menolak ajakanku untuk menginap di rumahku. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya.

"Mungkin dia butuh waktu untuk sendiri," pikirku.

Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya untuk Rio berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Saat itu aku ikut mengantarnya ke bandara Polonia Airport Medan. Tampak raut wajahnya sangat sedih ketika melihat wajahku. Aku mencoba tersenyum kepadanya agardia tetap semangat nantinya di sana. Aku masih ingat jelas, sebelum memasuki kawasan khusus pemegang tiket, dia memelukku erat.

“Jaga diri loe, sobat. Gua pergi takkan lama, kita pasti bertemu lagi nantinya. Loe boleh cari orang lain yang sama seperti gua untuk menjaga loe selama gua gak ada, biar dia ntar yang jagain loe dari oranglain yang jahatin loe. Sampai jumpa lagi, sobat. Gua bakal rindu banget ma loe! Loe merupakan saudara gua satu-satunya yang pernah ada di dunia ini,” ungkapnya dari hatinya yang paling dalam.

“Loe juga baik-baik di sana. Jangan terikut dengan pergaulan bebas di sana. Ingat, tujuan loe ke sana itu untuk belajar! Jauhi drugs, apalagi seks bebas! Oke?” jawabku sambil membalas pelukannya.

Kurasakan dia mengangguk di bahuku. Akhirnya diapun berangkat ke Jakarta. Aku pulang dengan berjuta ucapan syukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan seorang sahabat yang benar-benar setia padaku dalam keadaan apapun, yang orang lain belum tentu dapatkan.

***

2 tahun kemudian …

Aku iseng main ke rumah Rio untuk berkunjung sekaligus bertanya kenapa Rio tak pernah pulang meskipun ada libur panjang. Selama ini aku sudah mencoba menghubungi Rio melalui akun jejaring sosialnya tapi tak pernah ada balasan. Nomor handphone Rio juga sudah ganti beberapa bulan setelah dia di Jakarta, tanpa ada pemberitahuan padaku. Orangtuanya hanya terdiam. Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres yang disembunyikan oleh mereka. Aku mencoba meyakinkan mereka hingga akhirnya mereka memberitahukan kalau Rio sedang sakit parah di Jakarta. Sekarang dirawat di salah satu rumah sakit swasta di sana. Jawaban tersebut sekaligus menjawab pertanyaanku selama ini, kenapa kedua orangtua Rio sering ke Jakarta? Seminggu bisa dua kali. Orangtua Rio juga bilang kalau Rio sudah berhenti kuliah sebelum memasuki semester dua.

“Kebetulan hari Sabtu ini, ibu dan bapak akan berkunjung ke sana. Kami ingin mengajak kamu ke sana, kamu mau ‘kan? Tenang saja, biaya pesawat terbang, ibu dan bapak yang akan menanggungnya,” ajak ibunya Rio.
“Ya, bu. Saya akan ikut dan pasti ikut,” jawabku sedih dan serius.

Hari Sabtu …

Akhirnya kami tiba di rumah sakit di mana Rio dirawat. Kami langsung menuju kamar, tempat di mana Rio terbaring. Sebelum masuk, ibuRio mengingatkanku kalau Rio terkena penyakit HIV! Aku sangat terkejut, aku sedih, aku bertanya pada Tuhan bagaimana Dia bisa membiarkan Rio terkena penyakit tersebut! Aku sedih sekali, aku menangis tersedu-sedu melihat keadaan Rio terbaring lemah saat itu dari jendela kamar tempat dia dirawat. Aku menghapus airmataku sebelum memasuki kamar, aku berusaha tersenyum. Dia melihat ke arahku, tapi kemudian menoleh ke arah yang lain. Dia tak mau melihatku karena kurasa dia malu dengan keadaannya. Aku kemudian memulai pembicaraan.

“Yo, gua gak perduli dengan apa yang loe lakuin hingga loe bisa seperti ini, tapi gua marah sama loe karena loe gak ada kabar sama sekali! Apa maksud loe diamin gua?” tanyaku kesal sambil menahan tangis.
Rio tidak menjawab pertanyaanku, tapi aku bisa melihat dia sedang menutupi tangisannya dariku.

“Sekarang sudah begini, apalagi yang bisa kita lakukan kecuali berdoa mengharapkan keajaiban! Sekarang gua uda di sini, gua bakalan ijin sama orangtua gua untuk cuti kuliah biar gua bisa merawat loe sampai loe sembuh!” kataku.

Dia menangis sejadi-jadinya. Dia melihatku dengan penuh kasih. Hatiku hancur, sahabatku, satu-satunya manusia yang mengerti aku, sekarang terbaring lemah di rumah sakit dengan penyakit menular yang sangat parah. Aku hanya bisa menangis melihat keadaannya. Tak tahan lagi dengan rasa sedih ini, aku langsung menuju ke arahnya, memeluknya erat, tak perduli sedikitpun akan tertular penyakitnya!

“Aku sangat menyayangi sahabatku yang satu ini ya Tuhan, kenapa harus begini?” rintihku dalam hati kepada Yang Kuasa sambil memeluk erat tubuh Rio.

***

Orangtuaku mengijinkanku cuti dan mereka siap mengurus surat cutiku dari kampus. Kedua orangtuaku memang sudah tahu lama semua tentang persahabatan kami ini, mereka memaklumi keputusanku dan juga mendukungku.
Hari-hari kulewati untuk merawat Rio di rumah sakit. Pihak rumah sakit bahkan telah menyediakan satu kasur bagiku di dalam kamar Rio karena tidak tega melihatku selama ini tidur di sofa. Enam bulan kemudian kesehatan Rio sudah mulai membaik. Kata dokter, virus HIV yang ada di tubuh Rio tidak lagi bereproduksi. Aku sangat senang mendengar kabar baik tersebut, begitupun dengan Rio dan kedua orangtuanya. Akupun semakin semangat merawat Rio agar dia cepat sembuh. Aku percaya keajaiban itu ada. Tuhan tahu yang terbaik buat Rio. Tuhan telah sediakan rencana yang indah buat Rio.

Dini hari pukul 1 pagi, sekitar dua bulan setelah membaiknya kesehatan Rio, aku terkejut karena tiba-tiba suhu tubuh Rio naik drastis. Aku melihat Rio hanya tersenyum, sambil memberikanku sebuah surat.

“Rio, jangan pergi. Loe gak boleh ninggalin gua sendiri. Rio, loe gak boleh mati. Ya Tuhan, aku masih butuh Rio ya Tuhan,” ucapku keras.

Aku langsung teriak memanggil dokter agar Rio segera mendapatkan pertolongan. Tapi, belum lagi dokter datang, Rio sudah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Aku menangis sejadi-jadinya. Berkali-kali aku memanggil nama Rio, berharap agar dia kembali hidup, akan tetapi memang sudah tidak ada harapan lagi, dia sudah pergi untuk selamanya.

Kini semua tinggal kenangan. Surat terakhir Rio mewakili semua pertanyaanku selama ini. Selamat jalan teman. Aku akan selalu mengingatmu selamanya, tunggu aku di sana. Aku akan selalu merindukanmu. Tuhan memberkatimu…

 
Buat sahabatku di sana, satu-satunya saudaraku di dunia,
          Maafkan aku yang telah mengecewakanmu. Maafkan aku yang tak pernah memberikan kabar padamu. Maafkan aku yang tak mendengar pesan terakhirmu sebelum aku berangkat ke Jakarta. Maafkan aku sobatku.
          Aku membuat surat ini karena aku yakin hidupku tidak akan lama lagi di dunia. Aku ingin kau tahu beberapa hal yang kusembunyikan selama kita bersama.
          Aku masih ingat di awal perjumpaan kita di depan rumahmu, ketika aku dan keluargaku baru saja pindah ke ruko sebelah rumahmu. Aku tahu kita masih berusia lima tahun saat itu dan kemungkinan untuk mengingat hal itu sangatlah tidak mungkin. Tapi tidak denganku, itu sangatlah spesial bagiku! Kau langsung mengajakku bermain. Apakah kau tahu alasan kenapa kami pindah dari rumah sebelumnya? Itu semua karena aku tidak memiliki teman disana. Kau tahu sendiri aku sangat sulit untuk memulai pertemanan dengan oranglain, kecuali mereka mengajakku berkenalan terlebih dahulu. Itu memang sifat alamiku dari kecil. Orangtuaku takut itu akan berpengaruh buruk untuk perkembangan sosialku, jadi mereka memutuskan untuk pindah ke tempat lain, yang di dalamnya terdapat banyak anak seumuranku saat itu. Dan ketika kami baru saja tiba di rumah baru tersebut, kau langsung mendatangiku dan mengajakku bermain. Entah kenapa aku langsung mudah bergaul denganmu. Aku merasa kita memiliki banyak kecocokan dan selera yang sama. Itulah yang membuatku sayang padamu. Dan kau harus tahu ketika kita untuk pertama kalinya mengucapkan janji menjaga persahabatan kita di depan Tuhan di Gereja Imanuel, ketika kita masih  SMP, saat itu aku juga berjanji pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjagamu hingga akhir hayatku. Untuk itulah kenapa aku tak pernah membiarkanmu sendiri terlalu lama tanpaku di sampingmu. Aku tak ingin kau dilukai oleh orang lain.

And I never thought I'd feel this way
And as far as I'm concerned
I'm glad I got the chance to say
That I do believe I love you

And if I should ever go away
Well then close your eyes and try
To feel the way we do today
And then if you can remember

Keep smiling, keep shining
Knowing you can always count on me, for sure
That's what friends are for
For good times and bad times
I'll be on your side forever more
That's what friends are for

Well you came in loving me
And now there's so much more I see
And so by the way I thank you

Oh and then for the times when we're apart
Well then close your eyes and know
The words are coming from my heart
And then if you can remember  - Song Lyric : That's What Friends Are For

          Sahabatku, apapun yang terjadi nantinya, aku harap kau bisa menerima kenyataan yang ada. Aku yakin sekarang kau sudah cukup dewasa untuk bisa hidup tanpaku. Selama di dunia aku tidak meminta apa-apa pada Tuhan, karena aku sudah cukup bahagia dengan adanya kau disisiku, tapi untuk kali ini aku berdoa pada-Nya agar cita- citamu tercapai sahabatku. Maafkan aku sahabatku, aku hanya bisa menemanimu secepat ini. Rencana kita untuk traveling bersama ketika kau sudah jadi seorang guide, kini hanya sebuah kenangan. Jangan pernah lupakan aku sahabatku, hanya kau saudaraku di dunia ini! Yang menyayangiku dengan sepenuh hati! Aku mencintaimu dan menyayangimu selalu. Terima kasih karena kau sudah datang untuk merawatku sebelum aku pergi untuk selama-lamanya. Tuhan memberkatimu sahabatku. Sampai ketemu di rumah Bapa di sorga…

Rio

Created by : Lamtota Banjarnahor

Kandasnya Persahabatanku

Sudah genap 3 bulan kita tak lagi bersama. Aku tak bisa menyalahkanmu atas kejadian kemarin itu, mungkin aku juga salah kenapa aku tak bisa membuat sahabatku percaya sepenuhnya padaku. Jujur sebenarnya aku rindu sekali denganmu, aku merasa kehilangan meskipun aku yang kau sakiti dengan meninjuku secara tiba-tiba saat itu tanpa kutahu apa salahku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku sendiri bingung, aku marah dan dendam, tapi aku juga masih sayang padamu. Aku terpaksa menjauh, aku tak tahu harus berbuat apa lagi.
***
Perkenalkan, namaku Tito Leonard Saragih, kerap dipanggil Tito oleh teman-temanku. Saat ini aku sedang kuliah di salah satu Akademi negeri di kotaku, Medan. Aku juga ingin memperkenalkan 2 sahabatku, Andra dan Jogi. Mereka orang yang sangat baik. Aku masih ingat awal mula aku mengenal Jogi. Saat itu, 1 hari setelah pengumuman kelulusan masuk Akademi, kami disuruh untuk datang ke kampus, untuk diberi pengarahan tentang keperluan-keperluan yang harus dibawa selama ospek. Saat itu juga awal mula aku berkenalan dengan Jogi. “MUP ya?” katanya. “Iya. Kamu sendiri?” balasku sambil bertanya. “Aku juga. Namaku Jogi Sirait,” jawabnya sambil mengulurkan tangannya. “Aku Tito Leonard Saragih, kebetulan ibuku boru Sirait, kita mar-lae,” jawabku sambil menyalamnya. Lumayan lama kami mencoba untuk saling mengenal satu sama lain. Ternyata Jogi tinggal di Belawan dan dia berasal dari salah satu SMK swasta jurusan otomotif. Aku juga mengingat awal mula aku bertemu Andra. Di awal pertemuan dia terlihat sombong, urakan, dan kampungan. “Mungkin dari kampung,” batinku sambil nyengir-nyengir sendiri. Aku mengenal Andra ketika kami sudah sah sebagai mahasiswa Akademi (selesai ospek). Saat itu kami yang laki-laki disuruh oleh Kepala Program Studi (KAPRODI) kami untuk mengangkat meja dan lemari besi dari salah satu gedung ke gedung yang lain. (Sedang adanya perpindahan kantor dosen program studi kami). Setelah selesai mengangkat meja dan lemari besi tersebut, kami diberi 3 nasi bungkus sedangkan jumlah kami ada 5 orang. (Harusnya sih kami ada 7 orang laki-laki, tapi saat itu yang 2 lagi belum hadir hari itu). Ya karena jumlah nasi bungkusnya hanya 3 saja, maka kami saling berbagi, kebetulan waktu itu aku dapat 1 untukku sendiri.
Esoknya kami berjumpa lagi di kelas. Hari berlangsung dengan begitu saja hingga beberapa minggu kemudian, setelah absen kelas keluar, aku terkejut ternyata Andra marga Sirait, yang menandakan kami mar-lae juga. Hari-hari kulalui di Akademi bukan dengan mereka. Hampir 1 tahun aku hanya berteman dengan Yogi, sedangkan Andra dengan Julius, dan Jogi menyendiri alias kurang pergaulan. Hingga suatu hari, di saat libur semester genap, aku mengajak mereka ikut “Pelatihan Guide” gratis, malah peserta yang ikut akan dibayar. Selama 2 hari pelatihan kami jadi semakin dekat hingga di hari terakhir pelatihan kami sepakat untuk pergi berlibur setelah kami membayar uang perkuliahan nantinya. Kami merencanakan Medan-Kabanjahe-Parapat-Tarutung Tour.
Dan akhirnya tur tersebut kami mulai. Kami berangkat dari kampus (kami janjian jumpa di kampus) menuju terminal bus. Kira-kira jam 6 sore kami tiba di terminal bus. Saat itu bus lagi kosong dan akan beroperasi kembali 1 jam kemudian. Kami sepakat untuk makan malam dahulu sebelum berangkat. Dan akhirnya kami berangkat menuju Kabanjahe jam 8 malam. Kami tiba di terminal bus jam 11 malam. Saat itu tidak ada lagi angkutan umum untuk membawa kami menuju tempat persinggahan kami, yakni rumah Marisa, teman sekampus sekaligus sepupu kandungku. Karena jarak dari terminal ke rumah Marisa tidaklah terlalu jauh, kami pun memutuskan untuk berjalan kaki. Di perjalanan, ternyata ada Indomaret yang masih buka, kami singgah sebentar untuk membeli beberapa makanan yang nantinya akan diberikan pada keluarga Marisa sebagai tanda kehormatan. Setibanya di rumah Marisa, Andra dan Jogi langsung diantar ke kamar Marisa (kebetulan Marisa tidak di rumah, masih di kosannya di Medan) sedangkan aku, aku harus bercakap-cakap dahulu dengan ibunya Marisa karena mereka adalah saudaraku. Lebih dari setengah jam kami telah bercakap-cakap, kemudian aku permisi untuk ke kamar karena aku sudah sangat mengantuk. Malam itu kami pun tidur seranjang bertiga dan semakin eratlah pertemanan ini.
Keesokan harinya, aku mendapatkan diriku yang terakhir bangun di antara kami bertiga. Mereka sudah lebih setengah jam bangun akan tetapi tetap di kamar karena segan untuk keluar. Kemudian untuk menghilangkan rasa bosan mereka, aku mengajak mereka ke loteng rumah Marisa karena dari loteng tersebut kami akan melihat indahnya pemandangan Gunung Sinabung secara nyata dan jelas terpampang. Kami mengambil beberapa foto untuk kami abadikan, untuk menandakan bahwa kami pernah ke tempat ini. Setelah itu kami turun ke bawah untuk sarapan, mandi, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Pangururan.
Beberapa jam kemudian, tak terasa kami telah berada di Pangururan. Kemudian dengan bermodalkan alamat, kami mengunjungi salah satu rumah sepupuku di sana. Setengah jam kami mencari, akhirnya kami menemukan rumah sepupuku tersebut. Sesampainya di sana, kami langsung diantar ke kamar karena sepupuku tersebut harus kembali lagi ke kantornya karena ada urusan penting. Kali ini tempat tidur kami jauh lebih kecil, kami tetap bersyukur toh juga kami menumpang dan gratisan. Saat itu kami kelaparan, maklum belum makan siang.  Akhirnya Jogi memutuskan untuk membeli nasi bungkus untuk kami bertiga sedangkan aku dan Andra asyik menyusun barang karena kami berencana bakalan menginap disini selama 3 hari 2 malam. Lama kami menunggu, akhirnya Jogi datang juga. Kami pun makan siang bersama, kemudian istirahat.
***
“Jo, status facebookmu kok gitu? Siapa orang yang kau maksud?”. Begitulah isi SMSku di malam sebelum hari di mana Jogi meninjuku. Sekilas informasi, di status facebooknya Jogi memaki-maki seseorang dengan kata-kata ‘pengkhianat’, ‘teman sialan, sok baik’, dan ‘munafik’. Lama aku menunggu balasan SMS darinya hingga akhirnya aku tertidur. Keesokan harinya, aku terbangun jam 5 pagi dikarenakan handphoneku bergetar, ternyata ada SMS. Kubaca SMS tersebut dan ternyata dari Jogi. “Itu untuk kau bangsat! Gak usah sok baik kau samaku! Kau lihat aja entar pembalasanku ya! Dasar bangsat!” Hatiku kecewa saat itu juga, bagaimana bisa sahabatku ini memfitnahku seperti itu. Hatiku hancur, dalam hati aku marah, aku sedih, aku bertanya-tanya apa sebab dia berpikiran seperti itu.
***
“Hari ini kita bakalan ke hotspring,” kataku pada Andra dan Jogi. Mereka mengangguk sebagai tanda setuju. Dengan bermodalkan tas yang berisi plastik dan baju ganti, kamipun pergi menuju hotspring. Kami pergi dengan menyewa ‘betor’ atau becak bermotor. Kira-kira 15 menit kami dalam perjalanan, akhirnya kami tiba di hotspring tujuan kami. Akhirnya kami menuju kolam renang hotspring yang telah disediakan. Karena air dalam kolam renang tersebut tidak terlalu menantang alias tidak hangat, akhirnya kami berpindah ke bak air hangat yang ada di sebelah kolam renang tersebut. “Wow, ini sih namanya bukan hangat lagi, ini namanya uji nyali neraka,” kataku sambil tertawa. Lama kami di dalam, tak satupun dari kami yang berani berendam di bak tersebut. Terkadang kami saling tolak-menolak untuk menciptakan permainan. Dan ternyata Andra mencoba masuk ke bak. Belum ada 1 menit di dalam bak, Andra langsung naik sambil menggeliat kepanasan. Kamipun tertawa bersama. Kami berendam selama 1 jam lebih sambil menggosok badan satu sama yang lain. Akhirnya kami mandi dan mengenakan baju ganti yang telah kami bawa tadi. Setelah berpakaian kami memesan makanan (seperti itulah hotspring di sini, permandian diberikan secara gratis asalkan yang mandi memesan makanan atau minuman setelah mandi). Sebelum makanan datang, kami sempatkan diri untuk mengabadikan momen tersebut dengan mengambil beberapa foto. Makanan telah diantar ke meja kami, kamipun makan, membayar, dan akhirnya  pulang dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan kami mengambil banyak foto untuk diabadikan. Kamipun tiba di rumah sepupuku, dan akhirnya langsung tidur karena kecapekan. Keesokan harinya kami berencana melanjutkan perjalanan kami menuju Parapat. Setelah permisi untuk pergi dari yang empunya rumah, kamipun melanjutkan perjalanan.
Kamipun tiba di Parapat. Kami dijemput oleh teman kampus kami, Gindar Sirait. Meskipun bukanlah satu jurusan, Gindar dengan ramahnya membiarkan kami menginap di rumahnya. Kami disediakan 1 kamar untuk bertiga dengan ranjang yang cukup lebar. Setelah makan malam, akhirnya kamipun beristirahat. Keesokan harinya, kami pergi ke Tuktuk. Sampai di Tuktuk, kami menyewa tiga sepeda. Kami berencana mengelilingi Samosir dengan sepeda tersebut. Perjalanan yang sangat panjang, letih, lelah, lesu, haus, lapar, semua menjadi satu.  Belum lagi ban belakang sepeda Jogi bocor, pokoknya banyak kesan indah yang kudapat selama perjalanan tersebut. Aku sangat senang, aku merasa Tuhan telah mempertemukan kami sebagai sahabat. Kamipun pulang ke Parapat. Sesampainya di Parapat, kami diajak oleh Gindar untuk mandi ke Danau Toba. Kami pergi ke danau dengan berjalan kaki karena jarak antara rumah Gindar dan danau tidak terlalu jauh. Sesampainya di danau, kamipun langsung membuka baju kami hingga kami bertelanjang dada. Kamipun terjun ke danau. Saat itu Jogi memintaku untuk mengajarinya berenang. Aku tahu aku bukanlah seorang perenang yang handal, aku hanya sekedar bisa. Akan tetapi aku tidak menolak penawaran tersebut. Akupun mengajarinya berenang. Kulihat dia serius untuk belajar renang sehingga akupun semakin bersemangat untuk mengajarinya. Saat itu Andra tidak ikut berenang, alasannya sedang tidak bersemangat. Akhirnya setelah 2 jam lebih kami berenang di danau, kamipun pulang dengan angkutan umum karena tidak sanggup lagi untuk berjalan. Setibanya kami di rumah Gindar, kami langsung memasak mie sebagai menu makan malam. Setelah makan, kami menonton sebentar dan kemudian istirahat. Keesokan harinya, kami berencana untuk melanjutkan perjalanan menuju Tarutung. Tiba-tiba, dengan alasan finansial yang tidak mencukupi, Jogi berencana pulang ke Medan. Aku juga berpikiran seperti itu. Akan tetapi beda dengan Andra, dia bersikeras untuk melanjutkan perjalanan. Aku bingung dan akhirnya aku lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Tarutung bersama Andra. Setelah permisi dari orangtua Gindar, akhirnya aku, Andra, dan Gindar mengantar Jogi ke terminal bus yang akan mengantarnya menuju Medan. Setelah Jogi pulang, kamipun diantar oleh Gindar menuju terminal bus yang akan mengantar kami menuju Tarutung. Kebetulan jarak antar terminal bus tersebut tidaklah jauh. Sebelum berangkat, aku berterimakasih kepada Gindar karena dia telah menjamu kami dengan baik sekali sebagai tamunya.
Aku dan Andra akhirnya tiba di Sipaholon jam 7 malam, tepat di depan rumah pamannya Andra. Kami langsung mengetuk pintu, dijamu, dan langsung menuju kamar yang telah disediakan dan kemudian istirahat. Sebelum tidur, aku mengajak Andra untuk mengobrol sebentar. “Gak enak ya gak ada Jogi, sepi jadinya, gak ada bahan lawakan,” kataku memulai pembicaraan. “Iya, jadi gak enak, gak ada bahan kita lagi,” jawabnya sambil tertawa. Akupun ikut tertawa. Setelah selesai mengobrol kamipun beristirahat. Keesokan harinya, kami pergi ke Salib Kasih yang terletak di Tarutung. Jarak antara Sipaholon dan Tarutung tidaklah jauh hanya sekitar 15 menit. Dari simpang Salib Kasih kami menumpang pada sebuah mobil pick-up untuk dibawa menuju bukit Salib Kasih. Kira-kira 10 menit perjalanan, akhirnya kami tiba di Salib Kasih, tidak lupa kamipun mengucapkan terima kasih kepada supir tersebut. Empat jam kami di sana sambil menyempatkan diri untuk mengambil foto, berdoa, dan membeli souvenir. Saat mau pulang ternyata hujan turun dengan tiba-tiba. Kamipun terpaksa mencari tempat berteduh. Lama kami berteduh di bawah salah satu stan penjual buah-buahan (saat itu sedang tidak jualan) sambil menunggu orang baik yang mau menampung kami ke bawah. Sekitar 1 jam lebih kami menunggu, akhirnya sebuah truk menampung kami di bak belakang. Sesampainya di bawah, kami langsung berterimakasih kepada supir truk yang telah baik hati menampung kami. Kamipun pulang ke Sipaholon dan kemudian menyantap makan siang yang telah disediakan oleh bibinya Andra. Setelah makan, kami berencana untuk langsung pulang ke Medan. Setelah pamit, kami menunggu bus untuk pulang ke Medan di depan rumah tersebut (tanpa harus ke terminal bus). Akhirnya kami pulang ke Medan.
***
“Kau kenapa? Ada yang salah samaku?” tanyaku padanya sesaat setelah dia meninjuku dan menendangku. Kulihat teman-teman kami berusaha memisahkan kami yang sedang bertengkar. “Diam kau bangsat! Rupanya kau yang selama ini menusukku dari belakang! Kau jelek-jelekkan aku sama dosen, adek kelas, sama mereka!” jawabnya  dengan kemarahan yang memuncak sambil menunjuk ke arah teman-teman sekelas kami. “Apa buktinya?” kataku kesal. “Udahlah diam aja kau bangsat! Selama ini aku ada mata-mata di kelas ini, asal kau tau aja ya! Dasar teman bangsat kau!” bentaknya. Aku terdiam, terduduk, aku menangis karena aku tak tahu harus ke mana meluapkan emosi dalam diriku ini. Ternyata masalah ini terlihat oleh Kepala Jurusan kami, kamipun dipanggil ke kantornya untuk menjelaskan apa dan mengapa hal ini bisa terjadi. Kami disuruh masuk satu per satu. Awalnya dia yang masuk. Akupun menunggu sedikit lama ditemani oleh Andra dan Lili. Sesaat setelah dia keluar, aku masuk ke dalam kantor tersebut. Setelah ditanyai ini itu, akupun keluar.
***
Hingga sekarang aku dan Jogi tidak berhubungan sama sekali. Aku berusaha menghindarinya agar aku tak semakin sakit hati. Pernah suatu hari aku membuat sebuah status di facebookku seperti ini, “Pengen kali aku memblacklist kau dari hidupku. Aku udah benci kali samamu sekarang! Masa kau lebih percaya oranglain daripada sahabatmu sendiri!” Keesokan harinya, aku buka facebookku untuk melihat perkembangan statusku. Setelah selesai men-check statusku, aku coba untuk membuka profil Jogi. Dan ternyata apa? Di menghapusku dari pertemanannya! Aku semakin marah tapi juga bingung. Apa dia baca statusku? Tapi kenapa jadi dia yang marah samaku, bukankah harusnya aku yang marah? Atau jangan-jangan, dia sangat merasa bersalah, kemudian tak mau mengganggu hidupku lagi? Karena tak tahu harus berbuat apa lagi, aku langsung memblokir facebooknya, aku merasa itu adalah keputusan yang tepat. Aku juga memutuskan untuk tak lagi mencampuri urusannya dan tak mau lagi ikut serta dalam suatu kegiatan yang melibatkan dia (kecuali terpaksa)! Ketahuilah, aku sudah memaafkanmu dari awal meskipun terkadang pikiran ini ingin membalas perbuatanmu yang telah mempermalukanku. Terima kasih karena selama persahabatan kita berlangsung, kau telah baik padaku. Kebaikanmu akan selalu kuingat dan kukenang. Aku takkan lagi menyalahkanmu dan provokator itu. Aku juga berjanji untuk tidak lagi mencari tahu siapa provokator tersebut. Tapi 1 yang kutahu dan kuyakini, kebenaran akan tetap terungkap dan kebusukan akan tercium dalam waktu dekat. Aku tak mau mengatakan “AKU TAK MAU LAGI BERSAHABAT DENGANMU” karena sesungguhnya aku masih ingin. Biarlah waktu yang menjawab semua masalah kita. Yang jelas, aku takkan pernah mengkhianati sahabatku sesulit apapun posisiku. Aku menyayangi semua orang yang kuanggap sahabat. Satu yang kuinginkan darimu, kenanglah semua kesan positif yang kau dapat dariku dan janganlah terlalu mudah percaya terhadap perkataan seseorang tanpa terbukti kebenarannya.
SEKIAN
Kisah nyata persahabatan yang kualami.
Nama tokoh-tokoh di atas merupakan nama samaran.
Hargailah sahabatmu, percayalah padanya, sayangi dia tanpa kata ‘tetapi’ !

Persahabatan Kakak & Adik

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik,hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangansatu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

(Dari "I Cried For My Young Brother Six Time")

Cerita Sahabat


Aku tertegun sejenak, ketika menginjakkan kaki di lobby hotel Somerset. Ketika melihat tubuhnya yang telah berubah (tambah subur). Tapi senyum dan keramahan masih terpancar seperti dulu. Sepuluh tahun lebih kami tidak berjumpa. Dia bekerja di Jakarta dan telah menetap bersama istri dan dua anak. Sedangkan aku mulai lulus sampai sekarang masih berkutat di Surabaya dan Sidoarjo.
Kenangan sewaktu kuliah terus menyeruak diantara perbincangan kami di sebuah restoran dekat hotel. Perbincangan tentang perjalanan karier kami masing masing, tentang keadaan keluarga, hingga tentang planning jangka panjang. Rasa kangen bertahun-tahun terobati malam itu. Memang dulu dia merupakan sahabat sejatiku yang merupakan pemacu semangatku untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliah dan mencari pekerjaan.
Satu hal yang membuatku salut padanya, adalah ketika dia memutuskan hijrah ke Jakarta guna mencari kehidupan yang lebih baik berbekal ijazah meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Tahun pertama di Jakarta dia mendapat pekerjaan sebagai Sales Engineer dengan gaji yang hanya cukup untuk makan doang. Target penjualan dan segala beban hidup yang menghimpit dia hadapi dengan lapang dan iklash sebagai konsekuensi pilihan hidup yang harus dijalani. Tahun-tahun berikutnya tidak jauh berbeda, meskipun dia telah berganti-ganti kerja dalam bidang yang sama, tetap saja kehidupannya pas-pasan. Hingga pada sekitar dua tahun lalu dia diterima di sebuah perusahaan asing dengan jabatan yang cukup mentereng (setingkat manager). Kehidupannya berubah. Dia telah berhasil membeli rumah yang cukup elit. Segala yang dia tidak rasakan ketika di kehidupannya dulu kini bisa dia jumpai dengan mudah. Masa sulit telah berganti. Segala derita yang telah dirasakan dahulu telah bermetamorfosa ke dalam gelombang bahagia.

Renungan: Bahwa segala sesuatu yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas di masa lalu membawa dampak yang lebih baik bagi kehidupan di kemudian hari.

Sumber : andrisetiabudi.blogspot.com